Halaman

Kamis, 16 Februari 2012

Habib Bin Zaid al- Anshari

Habib Bin Zaid al- Anshari


Dalam sebuah rumah penuh keharuman iman di setiap sudutnya, di lingkungan
keluarga yang dahinya tampak membayang gambaran pengorbanan, di sanalah Habib
bin Zaid dibesarkan.

Ayah Habib, Zaid bin 'Ahsim, adalah salah seorang dari rombongan Yastrib yang
pertama-tama masuk Islam. Dia termasuk kelompok tujuh puluh yang melakukan
baiat dengan Rasulullah di Aqabah. Bersama Zaid bin 'Ashim turut pula dibaiat istri
dan dua orang putranya.

Ibu Habib, Ummu Amarah Nasibah Al-Maziniyah,merupakan wanita pertama yang
memanggul senjata untuk mempertahankan agama Allah dan membela Muhammad
Rasulullah.

Saudaranya, Abdullah bin Zaid, adalah pemuda yang mempertaruhkan lehernya
sebagai tebusan leher Rasulullah, dan menamengkan dadanyadalam perang Uhud
untuk melindungi Rasulullah yang mulia. Karenanya, Rasulullah mendoakan bagi
keluarga tersebut, "Semoga Allah melimpahkan barakah dan rahmat-Nya bagi kalian
sekeluarga."

Nur Ilahi(cahaya iman) telah menyinari hati Habib bin Zaid sejak dia masih muda
remaja, sehingga sangat kokoh melekat di hatinya.

Telah ditakdirkan Allah dia bersama-sama ibu, bapak, bibi, dan saudaranya pergi ke
Makkah, turut mengambil saham beserta kelompok tujuh puluh untuk melakukan
baiat dengan Rasulullah saw. dan melukis sejarah. Habib bin Zaid mengulurkan
tangannya yang kecil kepada Rasulullah sambil mengucapkan sumpah setia pada
malam gelap gulita di 'Aqobah.

Maka sejak hari itu dia lebih mencintai Rasulullah daripada ibu bapaknya sendiri. Dan
Islam lebih mahal dari pada dirinya sendiri.

Habib bin Zaid tidak turut berperang dalam peperangan Badar, karena ketika itu dia
masih kecil. Begitu pula dalam peperangan Uhud, dia belum memperoleh kehormatan
untuk ikut mengambil saham, karena dia belum kuat memanggul senjata. Tetapi
sesudah dua peperangan dia selalu ikut berperang mengikuti Rasulullah saw., dan
bertugas sebagai pemegang bendera perang yang dibanggakan.

Pengalaman-pengalaman perang yang dialami Habib bagaimanapun besar dan
mengejutkannya, pada hakikatnya tiada lain adalah proses mematangkan mental
Habib untuk menghadapi peristiwa yang lebih besar dan sangat mengejutkan, yang
bakal diceritakan di bawah ini; suatu peristiwa yang sungguh mengguncangkan hati,
seperti terguncangnya miliyunan kaum muslimin sejak masa kenabian hingga masa
kita sekarang. Marilah kita simak kisah ganas ini dari awalnya.

Pada tahun kesembilan hijriyah tiang-tiang Islam telah kuat menancap dalam di bumi
Arab. Jamaah dari seluruh pelosok Arab berdatangan ke Yastrib menemui Rasulullah
saw.,masuk Islam di hadapan beliau, dan berjanji (baiat) patuh setia .
Di antara itu terdapat pula rombongan Bani Hanifah dari Nejed. Mereka
menambatkan onta-ontanya di pinggir kota Madinah, dijaga oleh beberapa orang
kawannya. Seorang di antara penjaga itu bernama Musailamah bin Habib Al-Hanafy.
Para utusan yang tidak bertugas menjaga kendaraan, pergi menghadap Rasulullah
saw., dihadapan beliau mereka menyatakan masuk Islam beserta kaumnya. Rasulullah
menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan ramah-tamah. Bahkan beliau
memerintahkan supaya memberi hadiah bagi mereka dan bagi kawan-kawannya yang
bertugas menjaga kendaraan.

Tidak berapa lama setelah para utusan Bani Hanifah ini sampai di kampung mereka,
Nejed, Musailamah bin Habib Al- Hanafy murtad dari Islam. Dia berpidato di
haadapan orang banyak menyatakan dirinya Rasul Allah. Dia mengatakan bhwa Allah
mengutusnya menjadi Nabi untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus
Muhammad bin Abdullah untuk kaum Quraisy. Bani Hanifah menerima pernyataan
Musailamah tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi yang terpenting di antaranya
ialah karena fanatik kesukuan.

Seorang dari pendukungnya berkata,"Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar
dan Musailamah sungguh bohong . Tetapi kebohongan orang Rabi'ah, Musailamah
lebih saya sukai dari pada kebenaran orang Mudhar (Muhammad)".

Taatkala pengikut Musailamah bertambah banyak dan kuat, dia mengirim surat
kepada Rasulullah, sebagai berikut:

"Dari Musailamah Rasulullah, kepada Muhammad Rasulullah. Teriring salam untuk
anda. Adapun sesudah itu…Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi sekutu anda.
Separuh bumi ini adalah untuk kami, dan separuh lagi untuk kaum Quraisy. Tetapi
kaum Quraisy berbuat keterlaluan."

Surat tersebut di antar oleh dua orang utusan Musailamah kepada Rasulullah saw.
Selesai membaca surat itu Rasulullah saw. bertanya kepada keduanya, “Bagaimana
pendapat anda berdua (mengenai pernyataan Musailamah ini)?"

Mereka menjawab, "Kami sependapat dengan Musailamah!" Rasulullah saw.
berdabda, "Demi Allah! Seandainya tidak dilarang membunuh para utusan
sesungguhnya kupenggal leher kalian."

Rasulullah membalas surat Musailamah sebagai berikut, "Dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah, kepada
Musailamah pembohong, keselamatan hanyalah bagi siapa yang mengikuti petunjuk
(yang benar). Adapun sesudah itu …, Sesungguhnya bumi itu milik Allah. Dialah
yang berhak mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
Kemenangan adalah bagi orang-orang yang bertaqwa."


Surat balasan tersebut dikirimkan beliau melalui kedua utusan Musailamah.

Musailamah bertambah jahat dan kejahatannya semakin meluas. Rasulullah mengirim
surat lagi kepada Musailamah, memperingatkan supaya dia menghentikan segala kegiatannya yang menyesatkan itu.
Beliau menunjuk Habib bin Zaid, yaitu pahlawan
yang kita ceritakan ini, mengantarkan surat tersebut kepada Musailamah. Ketika itu
Habib masih muda belia. Tetapi dia pemuda mukmin yang beriman kuat, sejak dari
ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Habib bin Zaid berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah
kepadanya dengan penuh semangat, tanpa merasa lelah dan membuang–buang waktu
atau bermalas-malasan. Gunung yang tinggi didakinya, lembah yang dalam
dituruninya. Akhirnya sampailah dia ke perkampungan Bani Hanifah di dataran tinggi
Nejed. Maka diberikannya surat Rasulullah itu langsung kepada Musailamah.

Ketika Musailamah membaca surat tersebut dadanya naik turun karena iri dan dengki.
Mukanya menguning memancarkan kejahatan dan kepalsuan. Lalu diperintahkannya
kepada pengawal supaya mengikat Habib bin Zaid.

Besok pagi Musailamah muncul di majlisnya, diiringi para pembesar dan pengikutnya
di kiri dan kanannya. Dia menyatakan majelis terbuka untuk orang banyak. Kemudian
diperintahkannya membawa Habib bin Zaid ke hadapannya. Habib masuk dalam
keadaan terbelenggu, dan berjalan tertatih-tatih karena beratnya belenggu yang
dibawanya.

Habib bin Zaid berdiri di tengah-tengah orang banyak yang penuh kedengkian,
kesombongan dan kepongahan. Dia berdiri kokoh dan kuat. Musailamah bertanya
kepada Habib, "Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah?"

"Ya, benar! Aku mengakui Muhammad sesungguhnya Rasulullah!" jawab Habib bin
Zaid tegas.

Musailamah terdiam karena marah,"Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?" tanya
Musailamah.

Habib bin Zaid menjawab dengan nada menghina dan menyakitkan hati. "Agaknya
telingaku tuli. Aku tidak pernah mendengar yang begitu," jawab Habib bin Zaid.

Wajah Musailamah berubah, bibirnya gemetar karena marah. Lalu ia berkata kepada
algojonya, "Potong tubuhnya sepotong!"

Algojo menghampiri Habib bin Zaid, lalu dipotongnya bagian tubuh Habib, dan
potongan itu mengglinding di tanah. Musailamah bertanya kembali," Apakah kamu
mengakui Muhammad itu Rasulullah?" Jawab Habib, "Ya, aku mengakui
sesungguhnya Muhammad Rasulullah!"


Musailamah bertanya, "Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?"

Habib menjawab, "Telah kukatakan kepadamu, telingaku tuli mendengar ucapanmu
itu!"

Musailamah menyuruh kepada algojonya untuk memotong bagian tubuh Habib yang
lain, dan potongannya jatuh di dekat potongan yang pertama. Orang banyak terbelalak kebingungan melihat Habib yang keras hati dan tetap menantang. Musailamah terus
bertanya, dan algojo terus pada memotong-motong tubuh Habib berkali-kali sesuai
dengan perintah Musailamah. Walaupun begitu, Habib tetap berkata, "Aku mengakui
sesungguhnya Muhammad Rasulullah!"

Separuh tubuh Habib telah terpotong-potong dan potongannya berserakan di tanah.
Separuhnya lagi bagaikan onggokan daging yang pandai bicara. Akhirnya jiwa Habib
melayang menemui Rabbnya. Kedua bibirnya senantiasa mengucapkan Nabi saw,
dengan siapa dia telah berjanji setia pada malam Aqabah, yaitu Muhammad
Rasulullah.

Setelah berita kamatian Habib bin Zaid disampaikan orang kepada ibunya Nasibah
Al-Maziniyah, ia berucap, "Seperti itu pulalah aku harus membuat perhitungan
dengan Musailamah Al-Kazdzab. Dan kepada Allah jua aku berserah diri. Anakku
Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah saw sejak kecil. Sumpah itu
dipenuhinya ketika dia muda belia. Seandainya Allah memungkinkanku, akan
kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya".

Beberapa lama sesudah kematian Habib bin Zaid tibalah hari yang dinanti-nantikan
nasibah. Khalifah Abu Bakar mengerahkan kaum muslimin memerangi nabi-nabi
palsu. Antara lain nabi palsu Musailamah Al-Kazdzab (Musailamah si pembohong).
Kaum muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah. Dalam pasukan itu terdapat
Nasibah Al-Maziniyah dan putranya Abdullah bin Zaid.

Ketika perang di Yamamah itu telah berkecamuk, kelihatan Nasibah membelah
barisan demi barisan bagaikan seekor singa betina. Nasibah berteriak, "Dimana
musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!"

Waktu ditemukannya, didapatinya Musailamah telah tewas di medan pertempuran,
dengan darahnya membasahi pedang kaum muslimin. Tidak lama kemudian, Nasibah
pun gugur pula sebagai syahidah, karena luka-luka yang dideritanya di sekujur
tubuhnya. Keduanya telah tewas. Namun keduanya berbeda arah. Nasibah pergi ke
surga, sedangkan Musailamah menuju ke neraka.



Sumber: Shuwarum min Hayaatis Shahaabah, Abdulrahman Ra'fat Basya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar